Usia 25 dan Problematikanya

Halo!
Masih ada yang suka mampir ke blogku ga nih? Komen dong kalau masih. Biar gue semangat update. Wkwk
Gue mau curhat guys. Pokoknya gue kalau mau nulis di blog ya pasti curhat ya. Kayak nggak punya teman aja ya. HAHA
Ketika gue menulis curhatan ini usia gue 25 tahun. Usia seperempat abad yang kata mereka inilah fase-fase Quarter Life Crisis. Usia di mana gue nggak tahu tujuan hidup gue mau kemana, karir gue mau bagaimana, asmara gue juga harus bagaimana, dan banyak pertanyaan-pertanyaan lain yang gue nggak tau jawabannya apa. 

Semakin Dewasa Permasalahan Hidup Semakin Kompleks

Banyak banget permasalahan hidup yang kompleks, yang bahkan gue nggak mau loh berurusan sama hal itu tapi kenapa tiba-tiba gue dapat masalah hidup di situ, gitu loh. Ini menyita waktu dan melelahkan banget buat gue. Gue sudah berusaha hidup dengan baik, memperlakukan orang lain sebaik yang gue bisa tapi kenapa, kenapa tetap saja terkadang gue nggak dapat feedback yang baik juga dari orang lain? Gue kecewa banget sih. Tapi akhirnya gue sadar, "oh dunia sekejam ini ya." Tidak selalu yang kita berikan juga akan kita dapatkan. Gue berkali-kali mengingatkan diri sendiri untuk memperlakukan orang lain sewajarnya saja dan nggak usah berharap apapun dari manusia. Tapi ya gue manusia biasa juga. Kadang gue terlalu peduli sama perasaan orang lain. Terlalu menjaga perasaan orang lain. Sampai akhirnya perasaan gue sendiri yang morat-marit dan orang lain mana perduli. Sebetulnya ini kebiasaan buruk atau baik ya? Gue dari dulu kayak perduli banget sama orang lain, mau orang baru, orang lama, sama aja gue tetap perduli. Apalagi kalau dia kayak sudah pernah baik satu kali sama gue, itu kayak gue mewajibkan diri gue buat membalas kebaikannya berkali-kali lipat gitu. Ini tidak jadi masalah sama sekali ketika gue lakukan di usia belasan atau awal 20-an. Tapi kenapa ya, setelah usia 25 gue merasa kayak, ini kok kayak agak problematik ya. HAHA
Coba dong sadarin gue, bagaimana cara menjadi manusia yang baik dengan baik. Gue nggak mau jadi jahat soalnya. Walaupun gue pasti pernah menjadi jahat juga di beberapa cerita orang lain. 

Karir Belum Jelas

Percaya nggak percaya di usia 25 ini gue belum mendapatkan pekerjaan tetap. Gue masih kerja serabutan. Jadi penghasilan gue ya tergantung tingkat kemalasan gue. Semakin gue malas-malasan semakin gue nggak punya uang. HAHA. Sebagai manusia, tentu saja gue iri sama yang udah ada penghasilan tetap bulanan. Mau mereka malas-malasan juga gajinya sama aja besarnya segitu. Tapi pada akhirnya gue cuma bisa bilang ke diri sendiri, "oke, ini belum waktunya aja, Ni. Sabar." 
Gue seorang sarjana pendidikan. Lo tau lah ya, harusnya gue berkarir sebagai apa sekarang. Tapi lo juga tahu kan, kalau sekolah habis libur 2 tahun akibat pandemi. Ini pas banget lagi sama momen ketika gue baru lulus dan belum sempat dapat kerjaan. Tahun 2020 s/d 2021 gue nggak merasa pernah hidup di tahun itu. Fase di mana gue ingin sekali jalan mengeksplorasi dunia tapi harus dipaksa di rumah aja karena pandemi. Gue stres banget. Gue bahkan setiap hari menangis karena merasa kalau masa depan gue sudah hancur banget dan gue nggak tahu harus gue perbaiki darimana dulu. Gue dapat pekerjaan di tahun 2020 gue WFH. Tapi gue tipikal orang yang bosenan, gue merasa lelah banget bekerja sendirian di rumah. Mana waktu kerjanya nggak jelas. Kayak nggak ada jedanya. Akhirnya gue memilih untuk yaudah lah lepasin aja. Gue juga stres banget kan waktu itu. 
Setelah pandemi mendingan. Gue sudah mencoba melamar ke beberapa sekolah. Tapi tetap saja belum ketemu yang jodoh sama gue. Nggak tahu deh. Bermacam-macam alasan penolakannya. Ada yang masuk di akal, ada juga yang nggak masuk di akal. Tapi gue diam aja. Perasaan gue nggak bego-bego banget. Beberapa teman juga bilang kalau skill mengajar gue bagus. Ada loh yang skill mengajarnya di bawah gue tapi dia sudah diterima kerja. Kayaknya bukan masalah skill deh tapi masalah bukan rejeki gue di situ. Tapi alhamdulilah ya, Tuhan masiih memberikan kemampuan lain di diri gue. Jadi, sekarang gue selow aja sih meksipun nggak jadi guru. Justru ini kayaknya kesempatan gue buat jadi lebih beda sendiri. Kebetulan keluarga gue profesinya guru, dari bokap dan kakak-kakak gue ambilnya pendidikan semua. HAHA 
Mungkin gue anak yang harus memutuskan profesi turun-temurun ini. Wkwk 
Mungkin loh ya, walau bagaimanapun gue masih ada kemungkinan buat jadi guru karena gue seorang jebolan dari FKIP. Ya sudah lah ya, mau gue usahakan sebisanya gue aja. Selebihnya biar Tuhan yang mengatur. 

Kisah Asmara yang Isinya Ambyar 

Gue malas sebetulnya membahas bab asmara. Soalnya gue goblok banget dalam hal ini. Kayak apapun yang gue coba tuh selalu gagal gitu loh. Padahal, teman-teman gue sudah pada gendong anak tapi gue merasa kayak percintaan gue kok nggak naik-naik kelas. Stuck aja gitu di posisi harus melepaskanlah, harus mengikhlaskan lah, harus diselesaikan lah. Sumpah ih gue capai. Kadang gue mikir, kok bisa ya, orang-orang menikah. Heran aja gitu. Gimana caranya deh. HAHA. 
Emang cara gue memperlakukan pasangan gue salah ya? Atau cara mendapatkan pasangannya yang salah? Gue nggak tahu sih. Sebetulnya kalau pacaran gue juga selalu mikir, pacaran tuh kan salah ya secara agama. Kok gue pacaran si :( kadang tuh gue kayak merasa nggak rela aja tangan gue disentuh laki-laki yang bukan muhrim gue. Gue merasa kayak gue lagi menghianati Tuhan gue banget gitu. Kayaknya karena ini sih gue selalu gagal dalam percintaan. Gue kan merasa kalau iman gue tuh nggak seberapa ya, gue juga bukan perempuan yang solehah banget. Gue betul-betul perempuan yang biasa aja. Tapi kenapa, kenapa setiap kali gue pecaran gue malah selalu merasa bersalah sama Tuhan. Huhu. Sedih. Padahal pen uwu-uwu juga kayak yang lain :'(
Hei! Jodohku! Apakah kamu orang yang soleh sekali sampai-sampai Tuhan menjaga hati dan perasaanku sampai sebegininya? Tiap pacaran sakit terus dapatnya. Lalu merasa sangat lega setelah melepaskannya. Kenapa woy, kenapa? Gue mau ta'aruf tapi gue juga bukan ukhti-ukhti solehah banget yaa gustiii. Bismilah ya berjodoh dengan yang baik, soleh dan bertanggungjawab dunia akhirat. Amin. Seperti mati, pernikahan juga bukan gue mengendalikan. Jadi untuk hal ini lebih banyak porsi pasrahnya sih sama Tuhan. Hehe


Jadi, seperti itulah beberapa permalasahan yang menganggu pikiran gue di usia 25. Mungkin nanti bakal gue lanjut lagi tapi versi lebih baik nggak cuma curhat begini. Ini untuk permulaan aja untuk sedikit mengosongkan isi kepala agar otak gue bisa lebih jernih mikirnya. Kepala gue isinya lagi ruwet banget. Kalau nggak ditulis gue nggak pernah merasa lega. Harusnya nggak usah di posting. Tapi ya sama aja kalau belum di posting rasanya kayak masih gue simpan sendiri lagi. Thanks yang sudah membaca catatan tak berguna ini. Kalau nggak ada yang baca nanti gue baca ulang sendiri di masa depan. Wkwk

Seeyou...

Comments

Populer

Sebuah Cerita dan Seekor Burung

Tulisan yang di Muat di Tahun 2016

Untuk Seseorang