Sebuah Cerita dan Seekor Burung

“Apa yang kau tatap dari lapangan itu?” tanya Rengganis pada  Rangga yang tampak khusuk menatap lapangan sepak bola.

“Tidak ada.” Rangga menjawab datar.
“Tak perlu sungkan, berceritalah.”
Rangga mengalihkan tatapannya, tangannya sibuk merapikan buku-buku yang sedari tadi ia buka-buka untuk melengkapi data-data di draft skripsinya. Ia juga menutup laptopnya dan memasukkannya ke dalam tas.
“Ayo makan.” Ajak Rangga pada Rengganis, kekasihnya.

Rangga seorang mahasiswa aktivis kampus yang sudah menjadi mahasiswa hampir lima tahun. Ia bukan mahasiswi yang bodoh, hanya saja ia terlalu sibuk dengan status kemahasiswaannya. Baginya menjadi mahasiswa adalah sebuah pekerjaan tanpa dibayar. Ia sibuk mengurusi rakyat-rakyat kurang mampu, ia sibuk mengajar anak-anak jalanan yang tidak mampu sekolah, ia sibuk mengkritik kebijakan-kebijakan pemerintah yang dirasa kurang adil. Pengabdiannya pada masyarakat bahkan lebih besar dari pengabdian seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat.

“Rangga, kau yakin kan bisa wisuda tahun ini?” tanya Rengganis pada Rangga sambil mengaduk-aduk baksonya.

Rangga terdiam sebentar tampak berpikir.

“Insha Allah.” jawabnya.

“Jangan Insha Allah dong, Ngga. Ibu dan Bapakku sudah sering menanyakan kamu, kapan kamu wisuda dan kapan kamu datang melamarku. Kita sudah merencanakan pernikahan dari awal masuk kuliah. Aku bahkan sudah wisuda tahun lalu tapi kamu masih sibuk dengan bab II. Hanya karena kamu nggak wisuda-wisuda, kita jadi nggak nikah-nikah.” Kata Rengganis pada Rangga.

“Iya, aku tahu. Tak usah mengoceh. Penyakit  perkututmu kambuh kalau mbahas nikah.” Jawab Rangga.
            
“Bukan begitu tapi...”
            
“Iya, iya. Tahun ini wisuda, sayang.”

“Janji?”

“Ya mana bisa aku janji, kalau dosen mau ACC skripsiku ya aku wisuda, kalau engga ya, aku bisa apa?”
            
“Tuh kan.” Rengganis merajuk.
            
“Kalau kamu nggak wisuda tahun ini, kita putus!” Lanjut Rengganis. Rangga hanya tersenyum mendapati kekasihnya sedang ngambek. Ia tahu kalau kekasihnya tak akan setega itu memutuskannya hanya karena ia belum wisuda. Rengganis sudah berkali-kali mengancamnya dengan cara yang sama. Tapi ancaman itu tak lain hanya sebuah kalimat yang ia ucapkan untuk menunjukkan betapa cintanya Rengganis pada Rangga, hingga ia tak sabar untuk menunggu dinikahi.
***
            
“Nanti malam jadi ke rumahku kan?” Tanya Rengganis ketika sampai di depan rumahnya. Rangga yang masih duduk di motor hanya diam tak merespon. Ia menundukkan kepala.
            
“Ya sudah, tidak apa-apa.” Kata Rengganis.
            
Rengganis paham betul bahasa tubuh Rangga. Ia tak akan mampu mengatakan tidak meski sebenarnya ia tidak bisa. Barangkali karena terlalu sering membatalkan janji, Rengganis menjadi terbiasa dengan rencana yang tak terlaksana pada akhirnya. Ia terbiasa dengan Rangga yang tiba-tiba harus pergi meninggalkannya di tengah kencan. Pernah ia mengajak Rangga keluar kota, niatnya piknik, ketika ia sedang asik-asiknya berjalan-jalan tiba-tiba Rangga meninggalkannya hanya untuk mengikuti demo mahasiswa di dekat tempat mereka kencan. Apa boleh buat, itulah Rangga, Rengganis tak pernah menyesal mencintainya.
            
Rengganis masuk ke rumah tanpa sepatah kata pun. Tidak bisa dipungkiri di dalam hatinya, Rengganis menampung segudang kecewa. Sebab sudah berkali-kali rencana kencannya dibatalkan sepihak oleh Rangga. Rengganis hanya bertemu Rangga di kampus usai pulang mengajar. Sebuah keberuntungan bagi Rengganis sebab ia bekerja di sekolah yang dekat dengan kampus Rangga sehingga ia dapat menemui  Rangga setiap hari sembari menemani Rangga melanjutkan skripsinya.
            
Terkadang terbesit dalam pikiran Rengganis tak ada yang lebih hambar daripada menjalin sebuah hubungan dengan seorang aktivis, seseorang yang punya jiwa sosial terlampau tinggi. Selain kurang diperhatikan juga harus punya jiwa yang sabar dan tabah sebab ketiadaannya lebih banyak dari adanya. Seringkali ia harus meratapi rencana-rencana yang gagal secara tiba-tiba dan menumpahkan kekecewaannya dibantal hingga bantalnya lembab oleh air mata, seperti saat ini.
            
“Rengganis, itu ada Rangga di depan.” Teriak Ibu Sofi, ibunya Rengganis.
            
Rangga? Bukannya dia tidak bisa datang? Kenapa sekarang ke sini? Rengganis yang sedang menangis di kamarnya pun segera beranjak menuju ruang tamu. Sesampainya di ruang tamu, dia tak hanya melihat Rangga, ia juga melihat kedua orang tua Rangga duduk di samping Rangga. Mereka semua sedang berbincang dengan Ayahnya Rengganis.
            
Rangga tersenyum pada Rengganis. Rengganis hanya merespon dengan menatapnya. Rasa kesal di hatinya belum juga sirna. Rengganis pun menyalami kedua tangan orang tua Rangga. Ini bukan kali pertama ia bertemu dengan orang tua Rangga. Rengganis sudah sering bertemu mereka, baik Abinya atau pun Uminya.
            
Rengganis duduk di kursi, di samping Ayahnya. Tak beberapa lama Ibu Sofi muncul dengan beberapa toples kudapan di nampan, lalu meletakkannya di meja sebagai jamuan untuk Rangga, Abi, dan Uminya.
            
“Jadi, begini Pak, kedatangan kita kemari sebenarnya bukan untuk minta snack ataupun kudapan, Pak.” Ucap  Abi pada Ayah rengganis. Semua orang yang ada di ruang itu pun tertawa, termasuk Rengganis dan Rangga. Abi memang orang yang suka bercanda tak heran kalau Rengganis betah jika berlama-lama di rumah Rangga. Setelah tawa reda, Abi pun melanjutkan pembicaraan.
            
“Kami ke sini, bermaksud ingin meminta Rengganis, putri Bapak, untuk menjadi istri putra kami, Rangga, Pak.”
            
Jantung Rengganis tak henti-hentinya berdebar. Ia syok. Bukankah seharusnya menunggu Rangga wisuda? Kok secepat ini? Hati Rengganis tak henti-hentinya bertanya-tanya sedangkan pipinya bersemu merah, tak ada yang bisa dikatakannya. Ia hanya menunduk, antara malu dan tidak menyangka.
           
“Kalau urusan itu, saya serahkan ke rengganis saja. Kan yang mau menjalani hidup Rengganis bukan saya. Hehe. Bagaimana Rengganis?” Ayah Rengganis bertanya pada Rengganis. Rengganis diam. Setelah beberapa saat hening dan Rengganis bertatap-tatapan dengan Ibu dan Ayahnya. Ia pun menjawab.
           
“Bukankah Rangga belum wisuda?” jawab Rengganis.
            
“Aku memang belum wisuda. Tapi aku sudah dapat pekerjaan. Toh yang penting aku bisa menafkahimu bukan?” jawab Rangga sambil tersenyum.
            
Jawaban Rangga semakin membuat hati Rengganis tak keruan. Aneh, sudah lama Rengganis tak merasakan jantung yang berdebar-debar dan lutut lemas ketika mendengar suara Rangga. Terakhir kali ia merasakan hal seperti itu adalah ketika ulang tahunnya, tiga bulan lalu. Untunglah, Rangga tidak terlalu sering melakukan hal-hal romantis sehingga jantung Rengganis terasa lebih normal detaknya, sebab setiap kali Rangga melakukan hal-hal romantis justru jantungnyalah yang bereaksi terlebih dahulu dan membuat tubuhnya terasa lemas dan tidak keruan.
            
“Aku butuh waktu untuk memikirkannya.” Jawab Rengganis. Entah apa yang ada dalam pikiran  Rengganis. Setelah sekian lama menanti saat-saat seperti itu, justru ketika saat itu telah tiba ia belum mampu menjawabnya.
            
“Baiklah. Jadi, Rengganis tampaknya belum siap untuk memberikan jawaban sekarang. Jika berkenan, Rangga, Bapak dan Ibu, berilah waktu beberapa hari untuk Rengganis berpikir. Bagaimana Pak?” Kata Ayah Rengganis pada Abinya Rangga.
            
“Kalau saya sih tidak masalah. Bagaimana kamu Rangga?” tanya Abi pada Rangga.
            
“Iya, Bi. Aku juga tidak masalah menunggu.” Ucap Rangga sambil tersenyum memandangi Rengganis yang masih menunduk.
            
“Tiga hari, cukup, Nak Rengganis?” Rengganis yang sedang menunduk seketika terkejut mendengar namanya kembali disebut. Ia mengangkat kepalanya.
            
“Insha Allah, cukup, Bi.” Jawab Rengganis sambil tersenyum. Hatinya masih berdesir tak keruan.
            
Setelah kedua orang tua Rangga dan Rengganis berbincang-bincang cukup lama sambil menikmati kudapan, akhirnya mereka pun pamit untuk pulang. Namun, Rangga memilih untuk tinggal sebentar, sebab ia ingin berbincang sebentar dengan Rengganis.
            
“Kau kenapa?” tanya Rangga pada Rengganis, ketika berjalan-jalan di sekitar rumah Rengganis.
            
“Kau yang kenapa?” tanya Rengganis.
            
“Kenapa tiba-tiba melamarku? Kenapa tak bilang padaku dulu? Kau bikin aku terkejut, Ngga.” Cerca Rengganis.
Seperti biasa, Rangga hanya tersenyum.
            
“Aku tidak tahu harus jawab apa. Aku tidak siap apa-apa. Kau membuatku ingin menangis.” Rengganis berbicara sambil sesenggukan.
            
“Hei, jangan nangis. Bukan maksudku ingin membuatmu menangis. Tapi aku hanya ingin memberi kejutan sekali-kali. Bukankah aku lelaki yang terlalu kaku tanpa romantisme sedikit pun? Kau sendiri kan yang bilang?” ucap Rangga sambil menatap mata Rengganis yang basah.
            
“Iya, tapi...”
            
“Sudahlah. Aku tunggu jawabanmu tiga hari lagi.” Jawab Rangga.
            
“Oh iya. Kau ingat dengan burung gereja yang kau injak di lapangan, lusa?” Rangga mengalihkan pembicaraan.
            
“Iya, aku ingat, kenapa?”
            
“Burung itu sudah sembuh.”
            
“Bagaimana kau tahu?”
            
“Aku yang mengobatinya. Setelah mengantarmu pulang, aku kembali ke lapangan dan mengabil  burung itu.”
            
“Sungguh?”
            
“Iya, tak usah takut kena kutukan burung. Hehe.” Canda Rangga.
            
“Apaan sih. Aku kan kemarin menangis bukan karena takut kutukan, tapi takut jadi pembunuh.”
            
“Kau bukan pembunuh. Burung itu sudah sembuh. Kalau kau mau melihatnya datang saja ke rumahku. atau mau kubawa ke sini? Tapi tiga hari lagi akan aku lepaskan. Sayapnya sudah sembuh sepertinya.”
            
“Tiga hari lagi?”
            
“Iya.”
            
“Kalau begitu bawa saja ke rumahku. Bukankah tiga hari aku akan menjawab lamaranmu? Kita lepaskan saja bareng dengan pelepasan hubungan kita saat ini.”
            
“Kau ini kekanakkan sekali.”
        
“Biarin.”
            
“Jadi, kau tadi siang menatap lapangan itu kenapa? Aku masih penasaran.” Tanya Rengganis pada Rangga.
            
“Aku ingat ketika kau menginjak burung itu di lapangan. Tadi juga ada anak kecil yang menangis karena menginjak burung, persis seperti kau nangisnya. Haha.”
            
“Rangga!” Rengganis tampak kesal dan Rangga hanya nyengir.
            
“Bukankah lebih baik kalau di kampus kita ada rumah khusus untuk burung gereja? Aku kasihan dengan mereka, terbang ke sana kemari terkadang tak sengaja tertabrak motor atau terinjak. Jumlah mereka terlalu banyak, Ngga...”
            
“Jangan! Itu bukan ide yang bagus. Burung suka kebebasan. Itulah burung yang sebenarnya, Nis. Terbang dengan bebasnya. Toh masih ada pohon-pohon dan atap-atap yang bisa mereka tinggali.”
            
“Burung suka kebebasan? Iya juga ya. Haha. Aku jadi ingat. Kau seperti burung, Ngga.” Ucap Rengganis sambil tertawa.

“Tapi tidak akan kau injak kan?” Jawab  Rangga sambil menggoda Rengganis.

Comments

Post a Comment

Komentarmu?

Populer

Tulisan yang di Muat di Tahun 2016

Untuk Seseorang