KAFKA


Hujan deras. Matahari hampir tenggelam separuhnya. Aku yang saat itu baru pulang kerja dan harus menjemputmu di kampus langsung kupacu sepeda motorku atau sepeda motormu? dengan kecepatan melebihi batas normal. Aku tahu, aku sudah terlambat dan tak ada gunanya juga aku ngebut, pada akhirnya kau akan kecewa juga. Aku tahu, kau akan tetap menunggunguku tapi aku juga tahu, kau akan memakiku atau menghukumku dengan diammu atau dengan kalimat-kalimat asumsimu yang seringkali tak kusukai. Sebab kalimat itu membuatku merasa terpojokkan dan lagi kau adalah orang yang tak mau mendengarkan alasan apapun. Aku tiba di taman kampusmu tempat di mana kau menungguku, kulihat kau sedang duduk sendirian dengan tampang kecewa. Seperti dugaanku. Maaf, Kafka, aku terlambat. Kataku.Terlambat LAGI! lebih tepatnya! Jawabmu. Iya, maaf. Aku ingin menjelaskan lebih panjang dari sekadar kata maaf, tapi aku tahu kau tak akan sudi mendengarkannya. Maka kuurungkan niatku.  Aku turun dari motor dan kau mengambil alih posisiku. Aku hanya berdiri dengan pikiran yang entah.
Ayo, cepetan naik. Mau kuantar pulang nggak? aku ingin menjawab, tidak, Kafka, aku ingin menjelaskan alasanku terlambat. Tapi akhirnya hanya kujawab: Iya.
Kalau sudah seperti ini, aku hanya harus bersiap-siap menerima tuduhan-tuduhanmu yang sama sekali tidak ada benarnya. Aku kecewa sama kamu. Katamu. Iya, aku tahu, maaf. Kamu terlalu sering meminta maaf. Tapi kamu nggak pernah berubah. Selalu saja bikin aku kecewa!
Iya, maaf. Aku tad..
Halah! Udahlah aku  nggak mau dengar alasanmu itu. Kamu selalu tidak menghargai aku sebagai pacar kamu, kamu lebih mendahulukan orang lain.
Kafka... bukan itu maksudku. Tidak bisakah kamu mendengarkanku sekali saja.  Aku ingin didengarkan, tidak bisakah kau pura-pura percaya pada alasanku, alasan yang memang benar faktanya bukan diada-adakan. Kafka, aku ingin kau tahu aku. Aku memelukmu dan air mataku lagi-lagi meleleh dari mataku. Aku tak menginginkan air mata itu, tapi air mata itu memaksa mengalir. Aku tahu, Kafkaku tak akan menyukai situasi ini.
Nangis lagi! Nangis terus! Emang ya, cewek kalau lagi salah ya gitu, nangis senjatanya biar dikasihani. Biar keliatannya aku yang salah. Katamu terus memojokkanku.
Bukan itu juga alasanku menangis Kafka. Kali ini aku menangis karena aku terlalu lelah. Dan aku ingin kau mendengarkan ceritaku. Deritaku, lebih tepatnya.
Kafka, kamu bosan maafin aku? Tanyaku masih dalam posisi memeluknya. Kafka nengok kebelakang, melihat mataku dan; Iya. Jawabnya.
Aku harus gimana? Tanyaku lagi. Aku nggak tahu, Nai. Jawabanmu yang semakin membuatku tambah bingung.
Perjalanan hening.  Tanpa percakapan. Pelukan pada Kafka pun kulepaskan. Tapi aku tahu, dipikiran masing-masing ada banyak sekali kalimat-kalimat yang urung diucapkan dengan bibir. Aku tiba di depan rumah, kosan lebih tepatnya. Turun dari motor.
Makasih ya, udah di anterin. Kafka diam tidak menyahutku. Ia  turun dari motor. Dan langsung menarikku dan  membenamkanku ke dadanya. Tinggiku memang hanya setara dengan dada Kafka, jadi kalau dia memelukku ia lebih suka membenamkan kepalaku di dadanya daripada menaruh kepalaku dipundakknya. Aku diam. Nggak tahu harus bagaimana. Aku pulang ya. Ucap Kafka sambil mencium keningku. Kafka adalah lelaki teraneh yang pernah aku milikki. Iya. Hati-hati. Kalau sudah sampai rumah hubungi aku. Kataku.
Iya. Dia senyum sebelum akhirnya berlalu meninggalkanku.
Jam delapan malam. Kafka belum juga menghubungiku. Akhirnya kuputuskan aku duluan yang menghubunginya. Khawatir terjadi apa-apa. Karena tidak biasanya dia memperlakukanku seperti ini.
Hey, udah sampai rumah?
Udah. Balasnya
Kehujanan?
Iya.
Entah Cuma perasaanku saja atau memang sikap Kafka berubah. Yang pasti aku merasa ada yang aneh dengan dia. Nggak biasanya dia balas chat sesingkat itu. Nggak biasanya dia ingkar janji. Nggak biasanya aku yang ngechat dia duluan. Dan nggak biasanya dia tega nyuekin aku.

Naila, kita berteman aja ya?
Satu pesan yang kafka kirim untukku. Ingin sekali rasanya aku jawab; Jangan, Kaf, aku masih sayang sama kamu, aku masih ingin bersamamu, lebih lama dari satu tahun ini, lebih lama dari bulan purnama dan lebih lama dari usiaku sendiri. Kafka, jangan putusin aku. Tapi akhirnya hanya kubalas dengan; Jika itu yang terbaik buat kamu, yaudah, aku bisa apa?
Kamu sih, bikin aku kecewa terus. Kau masih sempat menyalahkanku juga setelah bilang putus? Oh. Shit! Kau makhluk yang terbuat dari apa sih, Kafka?
Ya, maaf. Semoga bahagia tanpaku. Balasku. Aku merasa seperti ada beban berat yang terlepas dari pundakku tapi aku juga merasa kehilangan sesuatu yang semula ada pada diriku. Sesuatu yang entah apa namanya itu. Aku merasa bahagia putus darimu, tapi aku juga merasa sedih kehilanganmu. Aku tahu, setelah ini, semua tidak akan sama lagi. Percakapan-percakapan kita, pertemuan-pertemuan kita, tatapan-tatapan kita, semua akan berubah setelah kau mengucapkan satu kata ‘putus’. Meskipun kata itu kau ucapkan secara tersirat tapi tetap saja, aku merasakan sakit.
***
Muhammad Kafka Bagaskara. Seorang lelaki yang kukenal setelah aku memasuki perkuliahan semester awal. Dia bukan laki-laki terkeren di kampusku. Tapi dia laki-laki terkeren di mataku. Sebab perjuangannya mendapatkan cintaku yang perlu kuacungi jempol ribuan kali, barangkali. Awalnya aku biasa saja. Tak menyukainya sama sekali. Percakapan pertama aku dengannya adalah ketika dia mecari ruang kelas G.8.  Mba, mau tanya, G.8 di mana ya?
Oh, masnya mau ke G.8? Saya juga lagi nyari, mas. Maba juga. Hehe. Jawabku
Oh, maaf, mba, aku kira mba udah senior. Hehe. Ya udah bareng yuk. Katanya. Setua itukah mukaku, tuan? Kafka tertawa. Tidak kok. Maksudku aku tidak memperhatikan mukamu sebelum aku bertaya. Kata Kafka berterus terang. Kemudian Kafka menengok ke arahku dan menatapku. Hei! Kenapa? Kok diliatin mukaku. Omelku sambil terus berjalan mencari ruangan. Bukannya tadi kamu nanya, mukamu terlihat tua apa enggak? Setelah kuperhatikan, mukamu tidak setua kakak kelas. Malah lebih mirip anak SMP. Jangan-jangan kamu bukan maba (mahasiswa baru) tapi kamu anak SMP yang nyasar ke kampus, ya? Ucap Kafka panjang lebar. Enak aja! Aku maba kok. Ucapku merajuk. Kafka tertawa. Percakapan-percakapan ala kadarnya terus berlanjut sampai pada akhirnya Kafka dan aku berada di depan ruang G.8. Sampai detik itu, aku belum tahu namanya. Aku dan Kafka berkenalan tanpa proses perkenalan. Hanya melihat nama di daftar absen masing-masing. Dan memperhatikan teman yang lain manggil dia dengan sebutan apa. Terus terang, sudah cukup banyak anak-anak yang sekelas denganku yang aku kenal sejak SMA. Baik itu teman satu SMA atau pun teman satu komunitas atau tetanggaku tapi beda sekolah. Kebetulan, aku cukup aktif dalam organisasi di SMA dulu. Jadi sering main ke sekolah tetangga. Atau lebih tepatnya sering dapat kenalan baru dari SMA lain karena harus mengadakan acara bersama. Jadi, masalah nama tentu sudah banyak  yang tahu namaku.
Kafka bukan laki-laki populer. Tapi cukup banyak cewek-cewek yang menyukainya. Eh gimana sih? Maksudku, gini, Kafka sebenarnya bukan tipikal laki-laki yang banyak disukai perempuan. Tapi karena kepintarannya dalam berkomunikasi, ia punya banyak teman perempuan. Teman laki-lakinya juga banyak. Kafka bukan anak konglomerat, tapi dia anak tunggal. Jadi wajar, kalau segala yang dia mau, orang tuanya pasti akan menurutinya. Orang tua Kafka bukan orang miskin. Tapi orang yang cukup berkecukupan. Makanya Kafka kuliah. Berdasarkan hasil cerita Kafka, sebenarnya dia ingin kuliah di luar kota. Tapi orang tuanya tidak mengijinkan makanya jadilah dia sekarang kuliah di kampus yang sama denganku. Yang jarak dari rumahnya Kafka ke kampus hanya tiga puluh menit apabila ditempuh dengan sepeda motor dengan kecepatan normal.
Sekarang, akan kugambarkan bagaimana aku. Aku sebenarnya tidak jauh berbeda dengan Kafka. Jika Kafka anak tunggal maka aku adalah anak bungsu dari dua bersaudara.  Kakakku laki-laki dan sudah bekerja di salah satu perusahaan di Jakarta. Dia jadi wakil direktur.  Sudah menikah dan punya anak satu, perempuan, umurnya baru sekitar tiga tahunan. Punya rumah di Jakarta dan pulang ke rumah orang tua hanya setahun sekali atau dua kali jika sedang beruntung banyak hari libur. Bapakku bukan orang kaya, hanya seorang pedagang biasa. Punya warung makan yang ia kelola bersama teman perempuan yang sangat ia cintai; ibuku. Berbeda dengan Kafka yang ingin kuliah jauh dari orang tua, aku justru ingin kuliah dekat dengan orang tua. Jadi tidak perlu ngekos. Tapi takdir berkata lain, aku harus jauh dari orang tua dan ngekos. Oh iya, aku sebenarnya jadi anak kos sejak SMA. aku tidak minat dengan SMA yang dekat dengan rumahku, jadi aku meminta SMA yang agak jauh dari tempat tinggalku. Yang mengharuskan aku numpang atau ngekos aku kurang paham pokoknya aku tinggal di rumah Budheku ketika aku SMA. Jarak antara SMA-ku dengan kota yang sekarang aku tempati untuk kuliah sekitar satu jam. Bedanya, ketika SMA aku ngekos di rumah Budheku sedangkan ketika kuliah aku ngekos di tempat kosan orang lain, karena jarak dari tempat Budhe ke kampus masih cukup jauh yaitu sekitar satu jam, jadi aku harus cari kosan lagi.
Di perantauan aku berusaha menjadi semandiri mungkin. Meskipun sebenarnya aku cukup di manja kalau di rumah. Tapi ketika di perantauan aku mampu mandiri bahkan aku kuliah sambil kerja. Tadinya orang tuaku tidak setuju kalau aku kuliah sambil bekerja, namun kubilang kepada mereka kalau kerja itu salah satu syarat untuk mata kuliah tertentu. Akhirnya memasuki semester tiga aku mulai bekerja di sebuah perusahaan percetakan. Gajinya, lumayan untuk seorang pemula sepertiku yang tidak punya pengalaman apa-apa.
Aku dan Kafka sebenarnya memiliki satu dan setelah aku pikir-pikir ini adalah satu-satunya kesamaanku dengan dia, yaitu meskipun di manja orang tua, tapi kita sangat ingin belajar mandiri. Sama halnya denganku, yang kuliah sambil bekerja, Kafka juga kuliah sambil bekerja, bedanya, Kafka bekerja di perkebunan teh milik Ayahnya sendiri sedangkan aku bekerja di perusahaan orang lain. Banyak yang ku ketahui tentang Kafka. Tapi sepertinya tak banyak yang Kafka ketahui tentangku. Selain pendengar yang baik, aku adalah orang yang hobi bertanya. Jadi, banyak hal tentang Kafka yang sudah aku tanyakan. Sedangkan Kafka hanya hobi bercerita. Tapi, enggan mendengarkan cerita orang lain.
Awal hubungan spesialku dengan Kafka sebenarnya tidak romantis sama sekali. Kafka menyampaikan perasaannya hanya melalui chat. Kafka bilang, katanya dia sudah nembak aku sampai  lima kali. Tapi nggak di terima-terima. Aku malah jadian sama laki-laki lain. Dan setelah kuingat-ingat, iya sih, Kafka pernah mengungkapkan perasaannya sama aku ketika baru seminggu aku kenal dia. Jelas kutolak lah, masa iya, baru kenal seminggu langsung jadian, kan nggak banget. Dan lagi, Kafka itu bukan tipeku. Yang kedua, aku agak lupa sih, tapi kata Kafka, setelah dua bulan kenalan, dia nembak lagi. Tapi kutolak lagi, kata Kafka alasannya nggak jelas, aku keasyikan sama teman lain,katanya, jadi nggak digubris. Ketiga kalinya, kata Kafka lagi, karena aku orangnya pelupa, dia nembak langsung, tapi aku kayaknya nggak tahu karena dia nembaknya pakai permen. Setelah kuingat-ingat lagi, iya pernah dia ngasih permen tulisannya “I love You” tapi cuma kumakan permennya dan bungkusnya kubuang. Keempat kalinya, aku ingat sih, Kafka nembak aku secara langsung ketika dia main ke kosanku, bawa coklat, kalau nggak salah itu pas hari valentine. Tapi kutolak, dengan alasan, aku masih betah sendiri dan lebih nyaman temenan. Kalau tidak salah, itu ketika masih semester dua.
Ketika semester tiga, aku punya laki-laki idaman lain. Dia bisa dibilang cukup tampan. Juga baik hati, penyayang dan memiliki jiwa sosial yang tinggi. Dia sudah bekerja. Namanya: Raka Pratama. Karena memang dia anak pertama. Dia tidak terlalu tinggi, jika dibandingkan dengan tinggiku, aku sepundaknya. Kulitnya putih, nggak gemuk tapi badannya cukup berisi, dan yang aku suka, dadanya bidang, hidungnya mancung, dan senyumnya, sungguh menawan. Nggak heran kalau aku sempat tertawan. Dia bukan sarjana, hanya lulusan Sekolah Menengah Kejuruan atau SMK. Awal perkenalanku dengan dia adalah ketika aku melamar pekerjaan di perusahaan tempat dia bekerja. Saat itu dia yang mewawancaraiku. Yang setelah aku diterima kerja, aku baru tahu, kalau itu hanya wawancara formalitas saja. Karena katanya, sebenarnya dari semua surat lamaran yang masuk, hanya punyaku yang layak untuk diterima. Kata mas Raka sih gitu. Aslinya nggak tahu. Yang penting aku udah diterima kerja. Apapun alasannya aku nggak perduli, berarti inilah rezekiku. Aku semakin dekat dengan mas Raka. Ternyata mas Raka orangnya baik, sopan, ramah, pokoknya terlihat sempurna banget deh, di mataku saat itu. Kurang lebih setelah PDKT sekitar tiga bulanan, mas Raka nembak aku. Romantis sih, nembaknya. Nembaknya di ruang rapat. Di saksikan teman-teman sekantor. Kecuali, bosku. Karena dia langsung pergi selesai rapat. Sedangkan teman-teman kantor yang lain mas Raka tahan. Mas Raka menyatakan perasaannya saat itu. Aku yang memang dari awal sudah menaruh rasa kagum pada mas Raka, jelas langsung ku iyakan pernyataannya. Dan akhirnya kita menjadi sepasang kekasih.
Mas Kafka romantis, perhatian. Dua bulan berjalan hubungan baik-baik saja. Banyak bahagianya. Sampai tiba di bulan ketiga, aku putus dengan mas Raka. Setelah aku memergokinya dia suka ‘jajan’ kalau malam. Kata mas Raka sebenarnya kebiasaan buruknya itu sudah lama. Tidak ada yang tahu. Dan juga sudah berhenti sejak dia berpacaran denganku. Tapi katanya, dia sudah tidak tahan lagi, dua bulan tidak ‘jajan’ membuatnya begitu stres. Akhirnya dia memilih untuk ‘jajan’ diam-diam dibelakangku. Namun, Allah Maha Baik.  Ketika mas Raka memasuki sebuah hotel, aku kebetulan sedang berada di sekitar hotel tersebut. Tujuanku adalah sebuah kafe yang ada di samping hotel itu. Aku dan beberapa teman organisasi kampus mau mengadakan rapat di kafe itu. Karena malam minggu, dan merasa bosan kalau harus rapat di kampus. Aku melihat mas Raka menggandeng perempuan itu. Seksi sekali. wajahnya penuh tebal dengan make up. Dan aku hanya mematung, menatap mas Raka dengan tatapan tajam disertai amarah yang mengurai menjadi air mata dan aku langsung berlalu meninggalkan mas Raka tanpa sepatah kata pun. Aku tidak jadi masuk kafe, dan langsung buru-buru mengegas motorku tanpa punya tujuan. Yang jelas aku hanya ingin menjauh sejauh-jauhnya dari tempat itu. Sayup-sayup kudengar mas Raka memanggilku, tapi tak kuhiraukan, aku semakin menambah kecepatan motorku serupa pembalap dalam sirkuit, padahal jalanan cukup ramai saat itu. Tapi entahlah, namanya sedang tidak karuan, aku pun tidak perduli apa yang ada di sekitar atau pun di depan. Sampai di sebuah perempatan, motorku menemukan jodohnya. Dan ternyata motorku berjodoh dengan sepeda motor entah milik siapa dan aku terpental ke jalan raya. Dan sesudah itu aku tidak tahu apa-apa lagi. Aku bangun sudah di rumah sakit. Dan di sampingku ada Mas Raka. Tampaknya mas Raka merasa sangat bersalah. Tapi tak ku bahas. Mas Raka kuacuhkan keberadaannya. Lukaku tidak terlalu parah, dan hanya patah tulang di tangan kanan. Dan lecet-lecet dibagian wajah, lengan dan kaki. Aku tidak menginap di rumah sakit. Dan langsung pulang ke kosan.
Aku langsung menelpon Kafka saat itu. Dan menyuruh Kafka menjemputku. Tentu saja, aku tidak sudi kalau harus diantar mas Raka. Kafka tiba di rumah sakit. Wajahnya panik. Aku langsung memintanya mengantarku pulang. Kafka menurutiku. Biaya berobat kayaknya dibayarin mas Raka deh, pihak rumah sakit tidak meminta apapun kepadaku. Aku pulang diantar Kafka. Kafka yang saat itu sudah tahu kalau mas Raka pacarku pun heran, barangkali Raka berpikir, ada pacarnya kok malah lebih milih pulang minta diantar Kafka. Kafka tidak tahu apa-apa saat itu. Dia hanya menuruti semua mauku dan tidak banyak tanya. Barangkali Kafka paham dari raut wajahku. Aku menangis dipelukan Kafka. Aku yakin Kafka merasakan kalau sedang menangis sekarang.
Tiba di kosan Kafka menuntunku sampai di depan pintu. Kafka juga memberikan obatku dan langsung pamit pulang. Sebelum ia berlalu ia sempat mengingatkanku untuk meminum obatnya. Aku meng-iya-kan meskipun sebenarnya aku tidak yakin akan meminumnya. Tiba di kamar aku langsung merebahkan badanku di atas kasur. Seluruh badanku terasa remuk tapi lebih remuk hatiku. Ingatanku melayang pada kejadian sebelum aku kecelakaan. Bayangan Mas Raka dan wanita jalang itu terus saja berputar-putar di kepalaku. aku tidak kuat lagi menahannya dan aku menangis sejadi-jadinya. Hingga tanpa sadar aku terlelap.
Pagi hari Kafka datang ke kosku. Membawa bubur ayam. Makan dulu, Nai. Biar cepat sembuh. Kata Kafka sambil membuka bubur ayam yang dibawanya. Aku diam saja. Mataku menerawang jauh, sangat jauh, hingga mataku tak menemukan titik fokus mana yang sedang kupandang. Nai! Ucap Kafka mengagetkanku. Aku putus dengan mas Raka, Kaf. Ucapku air mataku menetes tanpa kusadari. Kafka diam. Menatap mataku dalam dan mengelus rambutku yang sedikit berantakan. Udah, Nggak apa-apa, putus-nyambung dalam sebuah hubungan adalah hal biasa, Nai. Jangan nangis lagi, kamu harus kuat, ya? Kata Kafka menguatkan. Seandainya Kafka tahu bagaimana permasalahannya pasti Kafka tak akan berujar semacam itu. Aku bodoh Kafka, aku jatuh cinta sebuta-butanya pada mas Raka sampai aku tidak tahu kalau mas Raka punya kebiasaan seburuk itu.
Berkali-kali mas Raka menghubungiku tapi tak kuhiraukan. Sudah tiga hari aku berdiam diri di kosan meratapi nasib patah hati tanpa pergi bekerja ataupun ke kampus. Ini adalah hari keempat. Aku memutuskan untuk ke kampus. Dan sorenya aku akan ke kantor, aku tidak tahu aku harus bagaimana kalau ketemu dengan mas Raka. Tapi, aku juga harus tetap bertanggung jawab dengan pekerjaanku. Aku tidak ingin makan gaji buta. Maka dengan sisa-sisa semangat yang kupunya aku harus pergi ke kantor.
Tugas kuliah sudah selesai. Sekarang sudah pukul lima sore. Sebenarnya kegiatan ngampusku sudah selesai sejak jam tiga. Tapi aku ke bengkel dulu ditemani Kafka untuk mengambil sepeda motorku. Aku sengaja tidak memberitahu orang tuaku perihal kejadian yang aku alami. Dan untungnya aku masih punya tabungan jadi biayai perbaikan motor bisa aku bayar sendiri tanpa minta uang ke Bapak. Setelah mengambil motor aku pamit ke Kafka untuk pergi ke kantor. Kamu yakin, Nai, mau ke kantor? Kata Kafka meragukan keputusanku. Aku tahu, Kafka pasti tidak yakin aku akan kuat pergi ke kantor mengingat kemarin Kafka melihatku sangat sangat terpuruk. Iya, Kaf. Aku udah baik-baik saja kok. Kataku meyakinkan Kafka. Juga meyakinkan diriku sendiri.
Aku tiba di kantor. Dan langsung menuju bilik bagianku. Tidak beberapa lama aku duduk. Mas Raka datang menyapaku. Nai, udah sembuh? Tanyanya padaku. Bagaimana mungkin aku bisa sembuh secepat itu, Mas, apa yang kamu lakukan ke aku sungguh jahat. Hatiku masih sakit, mas, sakit banget. Ingin rasanya aku menjawabnya dengan kalimat itu, tapi akhirnya aku hanya menjawab: sudah.
Aku mau ngomong sama kamu, Nai.
Aku sibuk, mas. Nanti saja kalau masih ada waktu.
Sebentar aja, Nai. Kita keluar sebentar, ya...
Akhirnya aku menuruti mas keinginan mas Raka. Tadinya mas Raka mengajakku pergi agak jauh dari kantor tapi akhirnya aku memutuskan untuk bicara di kantin kantor saja. Dengan alasan, biar kalau misalkan ada yang membutuhkan aku tidak kejauhan. Walau bagaimanapun ini masih dalam jam kerjaku. Meskipun jam kerja mas Raka sudah habis. Di kantin mas Raka menjelaskan semuanya. Dasarnya aku memang suka mendengarkan, aku tetap menyimaknya meskipun sebenarnya aku sudah enggan. Dan sudah muak mendengar kalimat-kalimat yang ia keluarkan.
Jadi, gimana, Nai? Kamu masih mau menerimaku? Ucap mas Raka berharap kepastian mengenai hubunganku dengan dia. Yang secara sepihak sudah kuanggap putus sejak kejadian beberapa hari yang lalu.
Maaf, mas. Aku nggak bisa. Kita udahan ya mas. Aku nggak bisa lagi nerima mas.
Iya, Nai. Aku juga sudah tahu, kamu  pasti akan menjawab seperti itu. Mana ada perempuan yang mau menerima laki-laki bejat kayak Mas. Apalagi perempuan sebaik kamu. Mas paham. Dan mas terima keputusan kamu, Nai.
Tanpa terasa air mataku berderai. Entahlah, padahal aku tidak ingin menangis di depan mas Raka tapi nggak bisa, meski sekuat tenaga aku menahan air mataku tapi air mataku tetap berderai juga.
Jangan nangis, Nai. Maafin, Mas, ya, udah bohongin kamu. Kata mas Raka sambil menatap mataku dalam.
Ini mungkin pertemuan terakhir kita, Nai. aku janji nggak bakal ganggu kamu lagi. Jaga diri baik-baik. Jangan cengeng terus, ya, Nai... ucap mas Raka lembut. Kemudian dia berdiri. Dan pamit untuk pergi. Sebelum jauh, entah hal apa yang mendorongku untuk memanggilnya dan memeluknya dari belakang. Oh... shit! Tubuhku benar-benar tidak bisa diajak kompromi. Bagaimana mungkin aku memeluknya. Tuhan...
Perpisahan tetaplah perpisahan. Entah dengan pelukan atau apapun, perpisahan tetap tidak bisa dicegah. Mas Raka resign dari kantor. Dan aku kembali menjalani hari-hari penuh kesibukan, tanpa kekasih. Lagi. Rasanya aneh. Biasanya ada yang perhatian semenjak putus dari mas Raka aku merasa seperti orang malang yang tak memiliki teman. Meskipun sebenarnya aku tetap kesepian. Rasanya ada satu ruangan di dalam hatiku yang ditinggal pergi pemiliknya. Ruangan itu kini terasa dingin, hampa dan sunyi. Ruangan yang tak tersentuh oleh siapapun. Sampai pada akhirnya ruangan itu ditempati oleh orang tidak aku duga sebelumnya: Muhammad Kafka Bagaskara.
Kisah cintaku dengan mas Raka berakhir dan menjadi kisah piluku di semester tiga. Semester empat aku menjalin hubungan baru dengan temanku sendiri. Muhammad Kafka Bagaskara. Awalnya aku ragu untuk menerimanya, tapi berhubung dia sudah menyatakan perasaan kepadaku berkali-kali akhirnya ku-iya-kan dia ketika menyatakan perasaan melalu chat. Aku pikir dengan menerima Kafka adalah pilihan terbaikku. Karena ketika berteman Kafka adalah sosok yang penuh perhatian dan kasih sayang. Perempuan mana pun kalau sudah mendapat perhatian dan kasih sayang pasti akan luluh juga. Begitu juga denganku. Awalnya Kafka sangat baik padaku. Tapi lama-lama sifat asli Kafka yang sebelumnya tak pernah kuketahui muncul juga. Kafka orang yang sangat-sangat cemburuan. Dia tidak bisa mengontrol rasa cemburunya. Bahkan bisa kubilang dia cemburu buta, sebuta-butanya. Aku merasa tersiksa menjalin hubungan dengan Kafka. Di satu sisi aku cukup nyaman dengan perlakuan Kafka yang penuh dengan kasih sayang dan perhatian, tapi di sisi lain, aku tidak bisa menghadapi sifat Kafka yang cemburuan dan suka mengekang, sehingga menjadikanku tidak bebas lagi seperti dulu. Tuntutanku sebagai anggota organisasi di kampus, juga tuntutan pekerjaanku mau tidak mau memaksaku untuk berinteraksi dengan banyak orang baik laki-laki maupun perempuan. Tapi terkadang, Kafka, tidak mau memahami posisiku. Dia selalu saja menyalahkanku ketika aku mendahulukan organisasi atau pekerjaan, di sangkutpautkan dengan masalah cinta. Padahal aku tidak semudah itu jatuh cinta pada sembarang orang. Banyak hal yang Kafka tidak tahu tentangku, tentang perasaanku padanya. Satu tahun menjalin hubungan, tidak cukup bagi Kafka untuk memahami perasaanku padanya. Di mataku Kafka lebih sibuk mengurusi rasa cemburunya daripada mengertikanku. Aku yang tak suka bercerita dan Kafka yang tak suka bertanya, membuat hubungan terasa semakin penuh dengan kepiluan. Meski begitu aku tak bisa memutuskan Kafka, karena jauh di lubuk hatiku, aku tak ingin kehilangannya. Selama Kafka masih mau menjalin hubungan denganku selama itu pula pengertian dan kesabaranku pada segala sifat buruk Kafka masih akan kupertahankan. Namun ternyata, Tuhan berhendak lain, aku dan Kafka harus berakhir dengan sia-sia setelah satu tahun aku berusaha bertahan pada hubungan yang agak kurang waras ini.
Pagi setelah semalam Kafka memutuskan aku mengecek handphone-ku. Setelah itu, yang kutemui hanya sebuah kecewa. Tidak ada pesan apapun dari Kafka, seperti pagi-pagi biasanya. Tidak ada Kafka yang cerewet menyuruhku mandi. Tidak ada Kafka yang cerewet minta sarapan bareng. Tidak ada Kafka yang tiba-tiba datang ke kosan. Dan tidak Kafka yang menyebalkan lagi. Kafka hilang. Kafka tidak tidak ada. Kafka hanya tinggal nama yang akan menjadi kenangan. Kafka, aku rindu. Rindu segala tentang kamu. Seandainya kemarin aku tidak menerima pinjaman motormu, seandainya motorku tidak harus masuk bengkel, seandainya kemarin tidak hujan, seandainya kemarin... ah! Kafka! Kenapa kau tidak mau mendengarkan penjelasanku. Kemarin aku pulang kerja sempat berantem dengan teman sekantorku. Itu sebabnya aku terlambat. Itu sebabnya aku tidak tepat waktu. Ada berbagai kesalahan di kantor yang sebenarnya bukan kesalahanku tapi semuanya dilimpahkan ke aku. Mentang-mentang aku bawahan semua kesalahan atasanku dilimpahkan semuanya ke aku. Yang membuatku berdebat dengannya di depan bosku. Dan pada akhirnya aku yang dipecat. Kafka... andai kau mau mendengarkanku. Aku sekarang sedang sangat terpuruk. Bukan hanya kehilangan pekerjaan, aku juga kehilangan kamu Kafka. Semua hal itu terjadi hanya dalam waktu satu hari. Ah. Betapa sialnya aku.

Comments

Populer

Sebuah Cerita dan Seekor Burung

Tulisan yang di Muat di Tahun 2016

Untuk Seseorang