Jaga Jarak
Aku mendengar Ibu dan Bapak bertengkar lagi perihal uang. Bapak baru saja di rumahkan beberapa bulan yang lalu akibat pandemi covid-19. Perusahaan tempat Bapak bekerja melakukan pengurangan pegawai dan Bapak ialah salah satu pegawai yang memenuhi kriteria untuk di rumahkan. Mengingat usianya yang dianggap sudah bukan usia yang produktif lagi.
Ibu terus mengomelinya tanpa henti setiap saat. Ibu
bilang “Mau di kasih makan apa anak-anak, Pak. Kalau seperti ini terus, Pak.”
Sembari menangis Ibu terus mengoceh pada Bapak. Sedangkan Bapak hanya diam
sembari menahan kepiluannya sendiri. Tiara dan Andi sedang tak di rumah. Mereka
sedang di tempat Paman menumpang wifi untuk
mengerjakan tugas sekolahnya. Hanya Paman lah yang mau berbaik hati menyumbangkan
jaringan internetnya untuk kepentingan pendidikan. Tidak heran, karena pamanku
seorang dosen di salah satu universitas swasta di kota kami. Beliau tentu
sangat perduli pada pendidikan anak-anak di desa kami.
“Lebih baik kita cerai, Pak, kalau seperti ini
terus. Ibu sudah capai. Sudah nggak kuat!” ujar . Ibu. Aku terkejut
mendengarnya. Tak kusangka sela gigi dan ranum bibir yang biasanya melahirkan
kalam-kalam baik berbau surga, kini seolah mengalirkan kata berbau neraka.
“Ibu sabar sedikit dong, Bu. Bapak juga sedang
usaha, Bu. Perceraian bukan jalan terbaik. Masih ada jalan lain yang lebih baik
dari perceraian, yang penting kita sabar dulu, Bu. Pandemi begini bukan hanya
kita yang susah, banyak Bu. Kita pasti
bisa melewatinya.”
“Jalan lain apa, Pak! Sudah lima bulan, bapak selalu
saja bilang sabar, sabar dan sabar. Tapi apa?! Sampai detik kita masih
begini-begini saja, Pak!” Ibu terus menangis bahkan semakin terisak lebur dalam
emosi dan kesedihan yang tak ada beda.
Aku masih pura-pura tidur lelap di kasurku. Semenjak
pandemi melanda dan Bapak di rumahkan dari pekerjaannya aku sering mendengar
mereka bertengkar. Terutama ketika Tiara dan Andi tak di rumah. Pesangon yang
tak seberapa sudah habis dalam tiga bulan untuk membeli segala kebutuhan makan
dan susu untukku. Kucuri dengar katanya pemerintah memberikan bantuan, tapi
Bapak dan Ibuku tidak dapat entah apa alasannya. Padahal orang tuaku termasuk
orang yang tidak mampu secara ekonomi di saat pandemi seperti ini.
“Apa Bapak nggak
kasihan sama anak-anak. Mereka butuh makanan bergizi dan susu, mereka masih
dalam masa pertumbuhan, pak!”
“Aku kasihan, Bu! Tapi mau bagaimana lagi. Segalanya
sedangkan sulit, Bu!”
“Sudah tugasmu sebagai kepala rumah tangga untuk
mencari solusi dari masalah ini, Pak!”
“Aku, aku, aku terus! ya! Ini salahku. Salahku kabeh!”
“Pokoknya kalau minggu ini Bapak belum dapat
pekerjaan juga, Ibu minta cerai!”
Aku meringkuk menahan rasa takut. Menggenggam erat
jari-jariku sendiri, seolah dengan begini segalanya dapat kupertahankan! Aku
takut. Hening sejenak. Kudengar Bapak
menghela nafas cukup panjang. Sebelum berkata:
“Tidak perlu minggu ini. Jika Ibu sungguh
menginginkannya, detik ini juga Bapak talak Ibu.”
Duarr! ! ! Seolah petir menyambar seluruh tubuh dan
jiwaku. Apakah aku sedang bermimpi? Kuharap ini hanyalah mimpi di siang bolong.
Kupejamkan erat-erat mataku. Aku mencoba untuk bangun. Memaksakan dan
meyakinkan diri bahwa ini hanya mimpi. Tapi tidak. Ini kenyataan. KENYATAAN!
Aku merasakan Ibu melangkahkan kakinya ke kamar
tempat aku dibaringkan. Aku sudah tidak pura-pura tidur. Aku memainkan kakiku.
Tapi Ibu tak perduli padaku. Ku dengar Ibu membuka lemari. Mengambil tas. Bunyi
restleting dari tas kudengar bercampur dengan suara isakan Ibu. Tak beberapa
lama. Ibu mengangkatku. Aku menangis. Tapi ibu tak perduli. Aku terus menangis.
Ibu masih acuh terus berjalan menuju pintu keluar. Melagkahkan kaki dengan
tergesa di sertai hujan yang turun dari matanya dan menetes di pipiku. Ibu
mungkin tak menyadarinya. Aku terus berontak, tapi tetap tak berdaya dalam
gendongannya. Tak beberapa lama. Kudengar langkah kaki mengejar Ibu. Kuyakin
itu Bapak. Dan benar.
“Kalau mau pergi, pergi saja sendiri. Jangan bawa di
bungsu.” Kata bapak sambil menarik lengan ibuku.
“Si bungsu masih butuh susuku. Biar Tiara dan Andi
yang ikut denganmu. Bungsu biar saja ikut denganku.” Ibu mengusap air matanya.
“Apa ibu benar-benar akan pergi. Apa ini akhir dari
keluarga kita?” ku dengar suara Bapak merendah. Mungkin Bapak menyesal telah
dikalahkan oleh emosinya.
“Apa Bapak lupa? Bapak sudah menalak Ibu.” Ibu
terisak. Tapi kemudian melanjutkan kata-katanya.
“Aku akan pulang ke rumah orang tuaku. Kau tidak
usah mencariku. Kita selesai. Sampaikan salamku pada Tiara dan Andi. Aku sayang
mereka. Mereka juga boleh main ke sana ketika liburan.”
“Tapi, Bu...”
“Ibu pamit. Assalamualaikum.” Ibu masih terus
menangis dan terus berjalan. Namun, baru beberapa langkah. Tiara dan Andi
datang dari kejauhan. Mereka berlari mengejar Ibu dan aku.
“Ibu!”
“Ibu mau kemana?” Tanya Tiara.
Ibu mengusap air matanya. Berjongkok memeluk Tiara
dan Andi. Aku berada di tengah-tengah mereka.
“Nak, kalian di rumah sama Bapak ya. Ibu dan adik
bungsu kalian mau ke rumah Mbah.”
“Tapi, Bu. Ini kan sekarang kan sedang corona emang
boleh pulang kampung?” tanya Andi.
“Buat kalian tidak boleh. Makanya kalian di rumah
saja dengan Bapak. Ibu dan bungsu harus ke sana.”
“Tapi kenapa
Bu?”
“Begini, nak, kalian tahu kan kalau kita harus jaga
jarak?” tanya Ibu.
“Iya, Bu, tahu.” Tiara menjawab. Andi mengangguk.
“Kalian juga tahu kan, kalau kita tidak boleh
kumpul-kumpul banyak orang?” keduanya mengangguk.
“Nah, maka dari itu Ibu dan bungsu mau pulang ke
rumah mbah dulu. Biar kita bisa jaga jarak dan tidak kumpul-kumpul. Rumah kita
kan sempit. Nggak apa-apa ya?”
“Tapi Ibu pulangnya kapan? Nanti kalau Tiara dan
Andi kangen Ibu gimana?”
Ibu lagilagi mengusap air matanya. Bapak masih
menyaksikan dan tak mengatakan apapun.
“Ibu pulangnya nanti kalau korona sudah selesai.
Sudah ya, Ibu pergi. Kalian masuk. Harus nurut sama Bapak. Oke?” kata Ibu.
“Oke. Bu, siap!” Tiara dan Andi bersalaman dengan
Ibu dan mengecup pipiku berkali-kali. Aku menagis. Mungkin ini ciuman terakhir
mereka untukku. Ibu dan aku pun pergi meninggalkan rumah tempat biasa untuk
pulang. Demi menjaga jarak dan menghindari kerumunan. Demi kebaikan, katanya.
Tapi keburukan, nyatanya.
Comments
Post a Comment
Komentarmu?