Semangkuk Mie
"Aku ke sini hanya ingin melihatmu. Aku lega bahwa ternyata kau baik-baik saja."
Aku tak bergeming dan tetap fokus merajang cabai rawit hijau dan sawi hijau sembari menunggu air dalam panci mendidih.
"Aku tahu, aku salah. Tidak memercayaimu. Dan sekarang aku menyesal."
Wanita mungil itu tetap berbicara, tak perduli aku mendengarkannya atau tidak.
"Aku terlalu egois. Dan tidak bisa mengontrol emosiku. Tapi kau tahu kan itu semua karena apa?"
Aku tetap diam. Air di panci sudah mendidih. Aku memasukkan rawisan cabai dan sawi itu ke dalam panci.
"Aku cemburu. Aku tidak bisa mengontrol emosiku ketika cemburu. Maafkan aku."
Kudengar dia yang duduk di kursi meja makan itu terisak. Aku membuka bungkus mie instanku. Dan mencelupkannya ke dalam air mendidih menyusul rawit dan sawi yang telah kumasukkan sesaat lebih dulu.
"Kau boleh membenciku dan aku juga tidak berhak memaksamu untuk memaafkan. Tapi, bisakah kau kembali ke rumah kita? Ranjang terlalu sepi tanpamu. Dapur terlalu dingin tanpamu. Perpustakaan mungil kita, semakin hening tanpamu. Tempat-tempat itu seolah mati begitu saja setelah kepergianmu."
Dia terus berbicara. Dan aku tetap diam tak bersuara. Aku mengaduk apa yang ada dalam panci dihadapanku. Asapnya mengepul. Menyebarkan aroma khas bumbu mie. Kemudian kupecahkan satu butir telur menyusul mie dan kawan-kawannya ke dalam panci. Aku tahu, Rena yang terisak dan kuabaikan sedari tadi pasti liurnya sudah meleleh dan ingin sekali menikmati mie itu. Aku tetap mengabaikan dia. Rena berdiri dan berjalan menyusulku mendekati kompor.
"Aku tak ingin kehilanganmu, Rama." Katanya sambil memelukku dari belakang. Kalau sudah seperti ini, aku harus bersiap menghadapi kekalahanku mengabaikannya. Sebenarnya aku sudah kalah sejak pertama kali aku memilih meninggalkan rumah dan meninggalkannya, memilih tinggal sendirian di sebuah apartemen yang lebih dekat dengan kantor redaksi.
Senja itu, Rena benar-benar tidak seperti Rena yang ku kenal. Dia begitu ekspresif meluapkan seluruh emosinya padaku. Dia menamparku, memakiku, dan akhirnya menyuruhku pergi dari rumah. Hanya karena cemburu buta dengan salah satu rekan kerjaku.
Di senja yang mendung itu, seperti biasa, aku pulang kerja. Masih berpakaian seperti saat pagi tadi kutinggalkan rumah dan Rena dengan sebuah kecupan hangat di keningnya. Sudah menjadi ritual wajib bagi aku dan Rena bahwa setiap kali akan berpergian Rena akan mencium punggung tanganku dan aku akan mencium keningnya. Kata Rena itu adalah salah satu resep agar rumah tangga kita awet.
Aku pulang masih disambut dengan senyuman manis dan pelukannya. Aku duduk di sofa. Rena menyusulku dan kembali memelukku. Kali ini ada yang aneh, dia mengendus-endus, serupa anjing pelacak yang sedang mengendus-endus aroma mangsanya lewat penciumannya. Aku hanya terkekeh melihat tingkah lakunya. Aku memejamkan mataku yang terasa sangat lelah.
PLAK!
Tamparan keras mendarat di pipiku dari tangan mungil Rena. Aku terlonjak dan seketika membuka mataku.
"Brengsek! Bajingan! Asu! Bejat! Tega ya, kau bermain di belakangku!" Cerocosnya dengan sumpah serapah sambil terus memukuli dadaku. Yang aku rasakan tidak seperti pukulan, hanya terasa seperti sentuhan-sentuhan dengan sedikit penekanan. Aku tidak tahu, apa yang sedang Rena lakukan dan apa yang sedang dia bahas. Apa Rena kesurupan? Batinku. Ku tatap matanya lekat-lekat, tapi tak kutemukan apa-apa, tak kutemukan mata merah atau bola matanya yang hilang seperti ciri orang kesurupan pada umumnya. Aku hanya menemukan kaca-kaca air mata yang hampir pecah dan siap meluap dari kelopak matanya.
"Kau kenapa sih, Rena?" Tanyaku dengan terus mengamatinya. Mencari-cari di mana sumber keanehan sikap Rena saat itu.
"Ini apa? Heh?" Kata Rena sambil menunjuk dadaku sebelah kiri. Di mana di sana, tercetak sebuah lukisan bibir warna merah merekah dan tercetak sangat-sangat jelas.
"Rena, ini tidak seperti yang kau bayangkan." Ucapku panik, serupa maling yang tertangkap basah sedang mencuri.
"Keluar! Keluar dari rumah ini sekarang juga! Aku muak melihatmu!"
"Tapi, Re."
"Keluar! Kubilang!" Teriakan Rena tiga kali lipat lebih kencang dari sebelumnya, sambil terus mendorongku menuju pintu. Mengeluarkanku dari rumah itu, dan kemudian dia menutupnya dan langsung menguncinya rapat-rapat. Mengusirku, seolah-olah aku adalah binatang buas yang akan menerkamnya jika dibiarkan masuk.
Dengan langkah kaki yang lunglai, aku memilih kembali kantor. Aku mengambil sebuah kunci apartemen dekat kantor yang biasa aku dan Rena pakai ketika aku sedang ada lemburan. Karena Rena tak pernah mau kalau malam-malam harus tinggal sendirian. Dia takut pada kegelapan. Pada malam. Katanya, malam identik dengan hal-hal menyeramkan, andai bisa, katanya dia akan membuat hari-hari selalu siang, andai bisa, katanya, dia akan tetap meminta matahari untuk tidak bersembunyi di balik awan. Andai bisa, katanya.
Aku memasuki ruang apartemen itu. Dan langsung mandi, mengguyur tubuhku dengan air panas.
Meratapi nasib betapa kesialan bertubi-tubi datang padaku hari ini, dan bersumber dari seorang yang sama: mahasiswi magang yang bego itu!
Hari itu, aku bekerja penuh dengan kekesalan. Pasalnya aku harus mengambil alih liputan temanku yang tidak masuk karena bininya sedang melahirku dan juga harus mengajak seorang mahasiswi magang. Bagiku, hal tersebut sangat merepotkan. Selain aku tak bisa berlari dengan cekatan, aku juga tak suka jika sedang bekerja selalu di tanya-tanya. Atau lebih tepatnya aku tak suka orang cerewet selain cerewetnya Rena.
Terpaksa aku akhirnya ke lokasi sumber berita bersama mahasiswi magang itu. Saat itu aku ditugaskan untuk meliput seorang pelaku korupsi yang sedang naik daun itu. Kata bosku, berita ini adalah berita terpenting. Karena sedang populer dan hal ini tentu akan sangat menguntungkan perusahaan.
Sesampainya di lokasi, aku langsung berebut dengan wartawan lain, menyusup mencoba dibarisan paling depan. Cika, mahasiswi itu, kutinggal begitu saja. Beberapa saat kemudian, teman-teman wartawan di hebohkan dengan adanya seorang gadis yang pingsan. Sontak, aku pun ikut melihatnya. Betapa terkejutnya aku ketika kulihat ternyata yang pingsan itu adalah mahasiswi yang sedang magang di kantorku. Sialnya, aku belum dapat data apapun dari narasumber. Dan sekarang harus mengurus orang pingsan segala.
Akhirnya, aku menggendongnya dan membawanya menyingkir dari tempat penuh sesak itu. Dia pingsan cukup lama, dan setelah dia sadar kita memilih balik ke kantor. Tanpa mendapatkan data apapun. Si bos murka. Dan hanya aku yang disalahkannya. Belakangan, baru ku ketahui kalau ternyata mahasiswa magang itu tidak kuat jika harus berdesak-desakkan. Sungguh menyebalkan.
Barangkali, lukisan bibir yang ada di kemejaku, adalah lukisan bibir dari mahasiswi magang itu, saat ku gendong tadi. Sebab memang lipstik yang dia kenakan sangat tebal dan berwarna merah membahana. Yang akhirnya, membuat istriku cemburu buta.
Aku mematikan kompor. Berbalik memandang istriku. Matanya tetap legit jika kupandang.
"Aku tahu, cap bibir di kemejamu itu..." Aku meletakkan jariku di bibirnya. Meninggalkannya yang masih berdiri tegak, tanpa suara. Aku mengambil sebuah mangkuk yang ada di rak piring. Aku memindahkan mie dalam panci ke dalam mangkuk putih itu. Meletakkannya di meja makan.
"Duduklah, nikmati semangkuk mie ini." Kemudian dia duduk dihapanku. Semangkuk mie yang masih mengepulkan asap berada di tengah-tengah kami.
Dia mengambil sendok dan menyeruput kuah itu kemudian memandangku.
"Kau yang ternikmat."
"Kau juga."
hahaha, judulnya mengenyangkan
ReplyDeleteHahaha.
DeleteTerima kasih, telah berkunjung ke blogku :)
Ternyata cuma cap bibir yang enggak sengaja menempel. Aturan istrinya kalem dulu, tanya baik-baik. Ujung-ujungnya nyesel kan ketika salah paham. Lalu mi menyatukan mereka kembali. Sederhana sekali. Wahaha. :))
ReplyDeleteIya, nyesel. Untungnya ada mie wkak
Delete