Kehilangan Novel dan Noval






Kenalin gue Nia dan gue punya sahabat namanya Noval. Gue itu hobi baca novel. Nia+Noval+Novel=3N
((Kenapa nggak gue beri judul 3N aja ya ini tulisan? Udah terlanjur pakai judul yang itu deng)).
(((skip)))

Ketika SMP gue punya sahabat namanya Noval, dia itu sahabat gue dari kecil. Gue udah dekat banget sama dia. Apa-apa yang gue punya juga jadi punya dia. Termasuk novel. Noval sama gue sebenarnya punya hobi yang berbeda. Noval lebih suka main game sedangkan gue lebih suka baca novel. Noval emang tipikal cewek yang nggak ada anggun-anggunya sama sekali. Sunggguh.Meskipun dia hobi main game tapi sesekali kalau dia main gamenya lagi kalah-kalah melulu dia kemudian ikutan baca novel. Berhubung rumah kita dekat jadi kalau lagi main bareng sampai maghrib. Seringnya sih dia yang main ke rumah gue, karena kata dia rumah gue lebih sejuk. Padahal ya sama aja sih. Itu alasan dia aja yang malas menyediakan kudapan kalau semisal nongkrongnya di rumahnya. Iya, dia emang sahabat yang pelit. Terlebih soal makanan. 
Singkat cerita, waktu itu hari sabtu kita pulang sekolah cepat. Pukul 10.00 sudah di bubarkan, dengan alasan katanya guru-guru mau rapat Unjian Nasional. Gue sama Noval pulang naik sepeda. Bukannya langsung pulang ke rumah sendiri dia malah ikut pulang ke rumah gue.
“Lah, Nov, kenapa lo ikutan parkir sepeda di halaman rumah gue?” Tanya gue
“Gue lagi malas pulang , percuma  juga pulang ke rumah jam segini nyokap gue belum pulang, lebih-lebih bokap.” Jawab Noval dengan santainya dan langsung masuk ke kamar gue, mendahului gue. Ini yang punya rumah siapa woy?!
Ya Allah beri hamba kesabaran punya sahabat kayak dia. Pantas saja selama ini yang mau jadi temannya dia cuma gue doang.
“Lo yakin nggak mau pulang, setidaknya makan dulu, Nov?” Tanya gue, penuh harap biar dia pulang dulu. Biar gue bisa tidur. Dan ngirit  juga karena nggak perlu kasih makan dan beli kudapan buat dia. Nyokap-bokap gue sih nggak  masalah soal beli makanan, tapi gue? Gue yang masalah. Gara-gara sering beliin dia makanan gue jadi nggak bisa nabung buat beli novel. Astaghfirullah. Sungguh sahabat yang merugikan. Haha
“Nggak ah Ni, gue mau ke makan di sini aja. Hmm... Baunya enak nih.” Jawabnya sambil berjalan menuju dapur rumah gue di ikuti gue di belakangnya. Musnah sudah harapan gue buat bikin dia pulang.
“Assalamualaikum, tante. Tante masak apa? Baunya enak banget nih, bikin lapar.” Tanya dia ke nyokap gue
“Masak ayam rica-rica, kalian kok tumbem jam segini udah pulang?”
“Iya, Tan, gurunya mau rapat  katanya.”
“Oh... Kalian belum pada makan di luar kan?” Tanya nyokap gue
“Belum lah mah, gimana mau makan di luar uang saku aja tadi Nia nggak di kasih, untung pulang cepat.” Jawab gue, cemberut.
“Iya, tan, Noval juga belum makan.”
“Hahaha. Kamu sih nggak ngingetin mamah, mamah kan lupa, Nia. Ya sudah, sebentar lagi matang kok, kalian tunggu di meja makan aja dulu. Nanti mamah antar kesana lauknya.” Jelas Mamah gue.
“Aku juga boleh ikut makan kan tan?”
“Nggak, boleh!” Jawab gue sambil melet ke Noval
“Boleh dong... Kamu kan jurinya masakan tante.”
Lebay banget nggak sih mamah gue? Tapi emang sih kalau soal makanan Noval  jago menilainya. Dia tahu kalau masakannya kurang bumbu apa aja. Nggak kayak gue yang kalau makan ya makan aja, kalau enak makannya banyak kalau nggak enak ya cuma makan sedikit atau nggak jadi makan. Jia Effendi
Usai acara makan siang di jam bukan jam makan siang, karena masih jam 11.00 siang udah makan. Noval dan gue pun langsung masuk lagi ke kamar. Di kamar dia gue langsung ngambil novel yang malamnya belum selesai gue baca. Novelnya Andrea Hinata yang judulnya laskar pelangi. Itu loh novel yang sudah di angkat ke layar lebar filmnya. Sedangkan Noval, masih memilah-milah koleksi buku gue yang berjejer rapi di rak serupa barisan para tentara. Bedanya novel gue nggak bawa senjata. Biasanya dia langsung nyalain komputer gue tapi kali ini enggak.
“Ni, ini novel unik ya, judulnya perahu kertas. Perahu kertas kan mainan kita sewaktu masih SD, ya kan?” Celetuk Noval sambil membolak-balik halaman novel perahu kertas.
“Bagus nggak ceritanya?” Lanjutnya.
“Baca aja sinopsisnya,  kalau menurut gue sih bagus.”
Dia pun membaca novelnya dengan khidmat. Waktu terus berjalan, gue sama Noval tenggelam dalam cerita novel masing-masing. Tak terasa, maghrib telah berkumandang, sudah saatnya Noval kembali ke tempat asalnya eh maksudnya ke rumahnya.
“Ni, gue pinjam novelnya ya, belum selesai baca gue. Tanggung.” Kata dia.
“Iya, tapi senin harus dibalikin ya? Awas kalau sampai hilang, itu novel kesayangan gue. Itu hadiah dari sepupu gue, sangat berharga.”
“Iya, lo mah lebay banget, aman kok di tangan gue.”
Novalpun langsung pamit pulang. Sebenarnya perasaan gue nggak enak ketika Noval membawa novel gue pulang. Tapi... sudah terlanjur ku –iya- kan
~~~
            Senin pagi, gue berangkat duluan karena ban sepeda gue lagi kempes lupa belum di isi angin. Akhirnya gue pun berangkat sekolah di antar bokap gue sekalian berangkat kerja. Sampai di kelas ternyata Noval belum datang. Dan gue pun ngobrol dengan teman yang lain. Berhubung ini hari senin, maka wajib upacar. Tapi yang jadi pertanyaan gue, kenapa Noval belum datang juga ya? Apa dia sakit? Apa dia bolos karena ada PR matematika yang belum di kerjakan? Atau dia telat ya? Berbagai pertanyaan mendadak berkeliaran di otak gue sepaket dengan dugaan-dugaan yang tidak bisa di buktikan kebenarannya mengenai penyebab Noval belum terlihat pagi ini. Upacar selesai, pasukan di bubarkan.
Gue masuk ke kelas dan “kok Noval belum berangkat juga ya?”
Tiba-tiba wali kelas gue namanya Bu Sri datang.
“Selamat pagi anak-anak.”
“Selamat pagi, bu.”
“Ibu di sini hanya mau mengumumkan pada kalian, kalau teman kelas kalian hari berkurang satu.”
“Berkurang gimana bu?” Jawab salah satu anak kelas gue
“Noval Ferlinda, dia pindah ke luar negeri mulai hari ini.”
Apa? Noval? Pindah? Kok dia nggak ngomong ke gue? Benar-benar tidak bisa di ampuni!
“Yakin, Bu? Tapi kok Noval nggak ngomong sama saya bu?”
“Iya, ibu nggak tahu. Setahu ibu orang tuanya dapat pekerjaan yang mengharuskan mereka pindah ke luar negeri.”
Semenjak saat itu, gue pun jadi benci sama Noval. Selain karena dia pindah nggak bilang-bilang sama gue, gue juga benci karena dia pergi sebelum balikin novel kesayangan gue. Bukan hanya kehilangan sahabat tersayang gue juga kehilangan novel kesayangan gue. Rasanya sakit banget ketika kehilangan dua hal berharga dalam satu waktu.  Tapi akhirnya gue sadar dan setelah itu gue memutuskan untuk merelakan novel itu bersama Noval. Meskipun gue sedih banget karena harus kehilangan dua hal yang sangat berharga, tapi kemudian gue berpikir kalau mungkin saja Noval punya alasan tertentu kenapa dia nggak bilang ke gue kalau dia mau pindah. Dan kenapa dia nggak balikin novel gue dulu sebelum dia pergi. Gue yakin dia punya alasan. Tapi gue nggak tahu alasannya apa dan kenapa. Gue cuma bisa menunggu Noval pulang dan pulangin novel gue sampai waktu yang nggak pernah gue tahu kapan waktu itu akan tiba. Gue masih menunggu lo balik dan balikin novel gue, Nov.

Tulisan ini di buat untuk memenuhi #tantangannulis #BlueValley bersama Jia Effendie.

Comments

Post a Comment

Komentarmu?

Populer

Sebuah Cerita dan Seekor Burung

Tulisan yang di Muat di Tahun 2016

Untuk Seseorang